Senin, 05 November 2018

Endless Illusions

By: Lutviatus Sa'adah

Endless Illusions

Seperti bulan-bulan ramadhan sebelumnya, bahwa setiap bulan ramadhan always dominan dengan kata “ngaji kebut”. Karena kan harus khatam selama kurang lebih dua minggu. Sedangkan kitabnya tidak hanya satu melainkan empat kitab, kadang juga bisa lebih dari itu.  Namun, mau tidak mau, semua santri harus mengikutinya meskipun harus menahan rasa kantuk yang berat. Seperti yang dilakukan teman-teman ku malahan mereka bisa sampai tertidur.  Apalagi ketika mereka ngajinya di serambi masjid. Hampir semua temanku kalau mengaji tidak mau di dalam masjid,  hanya beberapa saja yang berada di dalam masjid. Memang,  aku dan teman-teman ku kalau mengaji di masjid karena kami sudah menginjak Kelas Wustho. Akan tetapi bagian Kelas Ula mengajinya di kelas-kelas.

                                                                        Bagian 1

Ketika masa liburan telah usai.  Saat semua santri harus kembali ke pesantren,  yang biasa mereka menyebutnya dengan penjara suci. Disitulah, mereka mendapatkan bekal untuk menuju surga allah. Pada waktu bulan ramadhan tiba,  semua santri di pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang berbondong-bondong kembali untuk Thalabul Ilmi.  Saat itulah awal dari kisah yang bersejarah bagiku dimulai.
Waktu senja mulai hilang di telan malam, saat itu aku merasa bingung dengan apa yang dilakukan oleh teman-temanku. Mereka ramai-ramai bersorak-sorak, entah apa yang sedang mereka lihat aku pun tak tau. Setelah keramaian itu mulai mereda, aku baru beranjak bergegas untuk mencari tahu. Bisa di bilang aku kepo ha…ha…ha…. Aku bertanya pada salah satu santri yang berada di dekatku “kak, apaan sih yang dilihat mereka?”.  “nggak tau juga sih, tapi katanya ada anak baru yang masuk pesantren kita. Katanya juga anaknya gans dari pesantren kediri, tapi aku nggak tau pasti juga sih!”, jawab seorang santri yang biasa ku panggil kakak sebut saja dia kak Bella. “Dari pesantren kediri kak?”, timpalku dengan perasaan terkejut. Nggak nyangka kalau bakal ada seoang santriwan dari kediri yang bakal mondok di pesantrenku. Padahal pesantren kediri kan lebih terkenal kalau dibandingkan dengan pesantrenku yang baru berdiri sejak tahun 60-an.
Rasa terkejutku tak karuan. “kata teman-teman sih gitu, mereka bilang juga katanya gawanane ustadz Rahman. Tapi entahlah!” jawab kak Bella.
Kemudian aku langsung bergegas melihat siapa sih santri itu, bagaimana sih orang nya kog teman-teman ku bilang katanya gans. Agak kepo sedikit sih hehehe.
“mana sih orangnya?” tanyaku pada Saskia.
“orangnya masih di ndalem. Kenapa emangnya kepo ya?” jawaban Saskia seakan meremehkanku.
Tak lama kemudian keluar dari ndalem sesosok pria memakai baju koko putih dengan sarung yang serasi baginya, dan songkok yang melingkar di kepalanya.
huh, katanya gans”, gumamku menyesal karena keingintahuanku.
“ternyata biasa aja tuh” lanjutku.
Setelah itu aku langsung mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat maghrib. Setelah sholat maghrib semua santri belum mengawali mengaji karena juga kan baru balek dari rumah. Selang beberapa menit kemudian, adzan isya’ di kumandangkan. Entah siapa yang mengumandangkannya suaranya begitu merdu di dengar hingga terasa tenang hatiku. Usai sholat isya’ semua santri baik santriwan maupun santriwati disuruh berkumpul dimasjid untuk mengambil kitab yang akan dingajeni pada bulan yang penuh berkah ini. Memang pesantren yang ku teduhi ini masih campur tempatnya antara kaum adam dan hawa hanya berjarak 5m saja. Satu persatu santri maju untuk mengambil kitab sesuai dengan kelas masing-masing. Pada waktu itu, aku dan teman-temanku berada di kelas wustho. Acara pengambilan kitab pun telah usai. Semua santri langsung kembali ke asrama.

Bagian 2

Di sepertiga malam, aku bangun untuk qiyamul lail. Sama seperti yang dilakukan santri lainnya. Setelah itu barulah aku wa ashabi sahur. Ketika sahur di pesantrenku always nyetel lagu-lagu sholawatan, saat itu lagi trend lagunya nisa sabyan. Rasanya nyaman sekali mendengar lagu itu sambil makan. Usai makan sahur aku langsung menuju ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Lalu aku membaca al-qur’an sambil menunggu adzan subuh. Setelah adzan subuh berkumandang aku langsung mendirikan shalat qobliyah subuh. Kemudian shalat subuh didirikan yang di imami oleh seseorang yang sangat berjasa bagiku, beliau adalah kyai ku, yang biasa aku menyebutnya abah tercinta. Seusai shalat subuh aku dan santri yang lainnya mengaji dengan beliau di masjid yang megah ini. Aku senang sekali karna waktu ngaji aku tak sedikitpun merasakan kantuk. Aku juga senang kalau Abah mengajinya sambil cerita tentang politik. Huh sangat menyenangkan. Tak terasa mengaji telah selesai aku dan santri lainnya langsung ganti memakai kerudung. Kemudian aku dan sohibku menyapu halaman pesantren hingga bersih. Karena hari ini madrasahku libur, akhirnya aku dan kawan-kawan bermalas-malasan untuk mandi. Hingga pada akhirnya kami tertidur di basecame sampai Abah memanggil- manggil semua santri untuk mendirikan shalat dhuha berjama’ah kemudian langsung mengaji.
“Bagi santriwan santriwati diharapkan untuk segera bangun dari alamnya untuk melasanakan shalat dhuha berjama’ah ,setelah itu langsung ngaji” dawuh Abah dengan lantang, terdengar sampai mekkah. Mendengar suara itu semua santri bergegas bangun dan mengambil air wudhu.
Bakda shalat dhuha dan ngaji aku darus sebentar. Setelah itu baru aku tidur agar ketika ngaji bakda dhuhur tidak ngantuk. Saat ngaji bakda dhuhur tak ku sangka dan tak terduga bahwasannya seorang santri baru itu ikut mengaji di kelasku. Aku belum tau sih namanya siapa. Biarlah aku juga tak mau mengetahuinya.
eh Dinda,anak itu kog bisa ikut ngaji kita ya!. Padahal kan setiap anak baru ngajinya ikut kelas satu” tanyaku.
entah tapi katanya dia cuma ikut ngaji ramadhan saja” jawab Dinda dengan alasan yang tidak memuaskan.
ouch begitu” balasku cuek.
Setiap bakda shalat di pesantren ku ini selalu mengaji kecuali ketika bakda shalat maghrib. Karna digunakan untuk berbuka.
Bulan mulai menyinari dunia, waktu itu aku tengah melantunkan ayat-ayat suci di masjid. Begitu juga dengan santri-santri lain. Setelah melantunkan ayat-ayat tersebut temanku, Rena mengajakku dan yang lain pergi ke kantin. “hey, kawan ayo ke maqsof yuk?”.
“ayo tapi mau ngapain?” timpalku.
“Mau ngemis,,,ya beli jajan lah. Gimana sih kamu tuh!” sahut Aisyah.
hehehe, barang kali mau ngapain gitu!”.
“ayo ayo,,,siapa tau nanti ketemu santri baru itu” sahut kak Bella.
 “ihhh kakak ini santri baru lagi santri baru lagi” jawabku dengan nada tak suka.
 “ya udahlah kalo mau ke kantin ya ayo nggak perlu debat capres dulu kale!. Udahlah ayo” sahut Dinda mencoba meleraikan perdebatan. Setelah itu kami semua langsung ke kantin dan ternyata benar kami bertemu dengan anak itu. Kantin kami juga sama antara kaum adam dan hawa. Tiba disana teman-temanku pada salting gitu dech gara-gara  ada anak itu. Setelah itu datang lagi santriwan lainnya, tidak lain lagi mereka itu adalah teman sekelas kami. Jadi kami tidak malu jika berbicara dengan mereka. Memang disini tidak seperti pesantren-pesantren yang lainnya, disini masih bisa berbicara antara kaum adam dan hawa, disini juga tidak terlalu ketat seperti di pesantren lain. Karena kan pesantrennya masih baru juga. Setelah santriwan sampai di kantin, tak lama setelah itu Kania menghampiri salah satu teman akrabnya,namanya Andy.
“hey Andy anak baru itu namanya siapa sih?”.
ngapain kamu tanya nama dia ke aku! tanya orangnya sendiri sana?”.
“ya malu lah,,,cepet dong kasih tau, please!” Karina memohon pada Andy.
“ya dech aku beri tau. Namanya Ridwan” dia berhenti sejenak lalu melanjutkan pembicaraannya “sudah kan!”.
Thank’s you Andy”. Setelah mengetahui namanya dia sangat gembira, seperti orang yang baru kasmaran. Tapi dia tidak kasmaran karna dia sudah punya pacar.

Bagian 3
Hari-hari ku lewati dengan penuh kegembiraan. Penuh motivasi dari Abah ketika mengaji dan juga dari ustadz lainnya. Namun hal itu berubah. Ketika aku mendengar suara yang begitu mengagumkan. Waktu itu, saat aku mengaji kitab bersama Abah tercinta bakda ashar. Memang setiap Abah berhenti membacakan kitab kuning, beliau menyuruh salah satu santri untuk mengulangnya. Nah, saat itu yang disuruh adalah Ridwan. Aku hampir tak percaya bahwasannya dia membaca seperti layaknya seorang ustadz. Aku terkagum-kagum mendengar suaranya. Meleleh rasanya hatiku. Setelah saat itu sikapku mulai berubah ketika melihatnya. Pernah pada suatu hari dia tak mengikuti mengaji, rasanya aku seperti kehilangan sesuatu yang aku sayangi. Setiap hari fikiranku selalu terbayang akan wajahnya. Padahal itu tidak boleh terjadi dalam agama apalagi ketika shalat. Karena akan mengganggu shalatku. Tapi entah mengapa aku masih saja memikirkannya.
Suatu hari saat terik matahari mulai menyengat tubuh. Setelah mengaji bakda duhur Ridwan berbicara pada salah satu temanku, Safira. “mbag minta tolong boleh nggak?” tanya dia.
 “mau minta tolong apa kang?” jawabnya dengan lembut, memang orangnya sih lembut.
“Tolong tambalke kitab kulo niki wonten sing tasek gundul”. Lalu Safira mengiyakan.
Padahal sebelumnya dia tak pernah berbicara dengan kaum hawa. Baru kali ini aku melihatnya berbicara dengan kaum hawa. Hatiku terasa seperti tergores pisau. Setelah mereka selesai berbincang dan juga menentukan kapan waktunya, dia langsung pergi ke asrama, begitu juga dengan Safira. Safira memang terkenal pandai dalam masalah ilmu nahwu, bahkan Abah juga mengenalnya seperti itu.
Malam itu saat Ridwan menjajikan akan nambal kitabnya dengan Safira, rasanya aku sudah tak berdaya lagi. Terlebih lagi saat Ridwan terlihat bahagia dan bisa tertawa lepas saat bersama kawanku itu. Hatiku semakin hancur berkeping-keping, namun di balik itu ada temanku yang lain mendukungku untuk tetap strong menghadapinya. Akan tetapi aku tidak bisa. Aku menangis tersedu-sedu hingga seluruh wajahku basah dengan tetesan air mata. Selang beberapa hari aku sudah bisa melupakan kejadian itu, namun belum sepenuhnya.
Tinggal menunggu hari saja kami akan berpisah. 2 hari sebelum waktunya berpisah aku sudah meneteskan air mata. Entah mengapa aku selalu menangis terus ketika melihatnya. Setelah satu hari terlewati. Malam itu, waktunya untuk mengumpulkan kitab yang telah dingajeni selama bulan ramadhan ini. Dan barang siapa yang kitabnya masih belum penuh maknanya, maka dia tidak boleh pulang. Saat itu, semua kitab santri di kumpulkan lalu diam-diam aku melihat miliknya Ridwan. Wuuiihhh ternyata tulisannya bagus melebihi tulisanku. Tak sengaja juga aku menemukan sebuah buku yang di dalamnya terdapat tulisannya, lalu merobek buku itu agar aku mempunyai kenang-kenangan darinya. Setelah berpisah aku dan Ridwan pernah saling komunikasi namun itu tak berjalan lama. Semua itu terhenti ketika aku di beritahu Dinda tentang suatu hal.
“Aina kamu tahu nggak kalau Ridwan itu ternyata sukanya sama Safira” ungkap Dinda kepadaku
tuh kan bener omonganku, tapi kamu beneran nggak!” jawabanku.
“iya aku tau dari upload-an nya Ridwan” jawaban Dinda
“ah sudahlah kamu tambah bikin aku sakit hati aja” jawabanku dengan pasrah.
“lebih baik kamu, aku kasih tau daripada kamu tau sendiri, iya kan!” tutur Dinda
“iya juga sih. Makasih dech kalo gitu”.
 Setelah hari itu aku terpuruk aku merasa kecewa karna pernah membuka hatiku untuknya. Aku sangat kecewa, mengapa juga harus aku yang merasakan luka yang begitu dalam. Hingga suatu malam aku menulis sebuah puisi yang hanya di temani oleh hembusan angin yang dingin,

Bodohnya rasa tak ku kira
Tanpa hadirnya ku rasa hampa
Namun kedatangannya hanyalah luka
Darinya aku bawa cinta

Indahnya mengitari samudra
Berjalan tak menapak
Jauh waktu tak bertepi
Ku rasa semua nyata

Terbias semu rasa kecewa
Akankah ku lupakannya
Cinta yang bermakna
Mengajariku semuanya

Dari hal yang tak ku kira
Yang pernah ada atau tiada
Pahit manisnya rasa
Yang berujung kecewa.

2 komentar: