By: Lutviatus Sa'adah
Endless Illusions
Seperti
bulan-bulan ramadhan sebelumnya, bahwa setiap bulan ramadhan always dominan dengan kata “ngaji kebut”. Karena kan harus khatam
selama kurang lebih dua minggu. Sedangkan kitabnya tidak hanya satu melainkan
empat kitab, kadang juga bisa lebih dari itu. Namun, mau tidak mau, semua santri harus
mengikutinya meskipun harus menahan rasa kantuk yang berat. Seperti yang
dilakukan teman-teman ku malahan
mereka bisa sampai tertidur. Apalagi
ketika mereka ngajinya di serambi masjid. Hampir semua temanku kalau mengaji
tidak mau di dalam masjid, hanya
beberapa saja yang berada di dalam masjid. Memang, aku dan teman-teman ku kalau mengaji di masjid
karena kami sudah menginjak Kelas Wustho.
Akan tetapi bagian Kelas Ula mengajinya
di kelas-kelas.
Bagian
1
Ketika
masa liburan telah usai. Saat semua
santri harus kembali ke pesantren, yang
biasa mereka menyebutnya dengan penjara
suci. Disitulah, mereka mendapatkan bekal untuk menuju surga allah. Pada
waktu bulan ramadhan tiba, semua santri
di pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang berbondong-bondong kembali untuk Thalabul Ilmi. Saat itulah awal dari kisah yang bersejarah
bagiku dimulai.
Waktu senja
mulai hilang di telan malam, saat itu aku merasa bingung dengan apa yang
dilakukan oleh teman-temanku. Mereka ramai-ramai bersorak-sorak, entah apa yang
sedang mereka lihat aku pun tak tau. Setelah keramaian itu mulai mereda, aku
baru beranjak bergegas untuk mencari tahu. Bisa di bilang aku kepo ha…ha…ha…. Aku bertanya pada salah
satu santri yang berada di dekatku “kak, apaan sih yang dilihat mereka?”. “nggak tau juga sih, tapi katanya ada anak
baru yang masuk pesantren kita. Katanya juga anaknya gans dari pesantren kediri, tapi aku nggak tau pasti juga sih!”,
jawab seorang santri yang biasa ku panggil kakak sebut saja dia kak Bella.
“Dari pesantren kediri kak?”, timpalku dengan perasaan terkejut. Nggak nyangka
kalau bakal ada seoang santriwan dari kediri yang bakal mondok di pesantrenku. Padahal pesantren kediri kan lebih terkenal
kalau dibandingkan dengan pesantrenku yang baru berdiri sejak tahun 60-an.
Rasa terkejutku tak
karuan. “kata teman-teman sih gitu, mereka bilang juga katanya gawanane ustadz Rahman. Tapi entahlah!”
jawab kak Bella.
Kemudian aku langsung
bergegas melihat siapa sih santri itu, bagaimana sih orang nya kog teman-teman
ku bilang katanya gans. Agak kepo sedikit sih hehehe.
“mana sih orangnya?” tanyaku pada Saskia.
“orangnya masih di ndalem. Kenapa emangnya kepo ya?” jawaban Saskia seakan
meremehkanku.
Tak lama kemudian
keluar dari ndalem sesosok pria
memakai baju koko putih dengan sarung yang serasi baginya, dan songkok yang
melingkar di kepalanya.
“huh, katanya gans”, gumamku
menyesal karena keingintahuanku.
“ternyata biasa aja tuh” lanjutku.
Setelah
itu aku langsung mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat maghrib. Setelah
sholat maghrib semua santri belum mengawali mengaji karena juga kan baru balek dari rumah. Selang beberapa menit
kemudian, adzan isya’ di kumandangkan. Entah
siapa yang mengumandangkannya suaranya begitu merdu di dengar hingga terasa
tenang hatiku. Usai sholat isya’ semua santri baik santriwan maupun santriwati
disuruh berkumpul dimasjid untuk mengambil kitab yang akan dingajeni pada bulan yang penuh berkah
ini. Memang pesantren yang ku teduhi ini masih campur tempatnya antara kaum adam dan hawa hanya berjarak 5m saja.
Satu persatu santri maju untuk mengambil kitab sesuai dengan kelas
masing-masing. Pada waktu itu, aku dan teman-temanku berada di kelas wustho. Acara pengambilan kitab
pun telah usai. Semua santri langsung kembali ke asrama.
Bagian
2
Di
sepertiga malam, aku bangun untuk qiyamul
lail. Sama seperti yang dilakukan santri lainnya. Setelah itu barulah aku wa ashabi sahur. Ketika sahur di
pesantrenku always nyetel lagu-lagu
sholawatan, saat itu lagi trend lagunya nisa sabyan. Rasanya nyaman sekali
mendengar lagu itu sambil makan. Usai makan sahur aku langsung menuju ke kamar mandi
untuk menggosok gigi. Lalu aku membaca al-qur’an sambil menunggu adzan subuh.
Setelah adzan subuh berkumandang aku langsung mendirikan shalat qobliyah subuh. Kemudian shalat subuh
didirikan yang di imami oleh seseorang yang sangat berjasa bagiku, beliau
adalah kyai ku, yang biasa aku menyebutnya abah tercinta. Seusai shalat subuh
aku dan santri yang lainnya mengaji dengan beliau di masjid yang megah ini. Aku
senang sekali karna waktu ngaji aku
tak sedikitpun merasakan kantuk. Aku juga senang kalau Abah mengajinya sambil
cerita tentang politik. Huh sangat
menyenangkan. Tak terasa mengaji telah selesai aku dan santri lainnya
langsung ganti memakai kerudung. Kemudian aku dan sohibku menyapu halaman
pesantren hingga bersih. Karena hari ini madrasahku libur, akhirnya aku dan
kawan-kawan bermalas-malasan untuk mandi. Hingga pada akhirnya kami tertidur di
basecame sampai Abah memanggil- manggil semua santri untuk mendirikan shalat dhuha
berjama’ah kemudian langsung mengaji.
“Bagi santriwan
santriwati diharapkan untuk segera bangun dari alamnya untuk melasanakan shalat
dhuha berjama’ah ,setelah itu langsung ngaji” dawuh Abah dengan lantang,
terdengar sampai mekkah. Mendengar suara itu semua santri bergegas bangun dan
mengambil air wudhu.
Bakda
shalat dhuha dan ngaji aku darus sebentar. Setelah itu baru aku tidur agar
ketika ngaji bakda dhuhur tidak ngantuk.
Saat ngaji bakda dhuhur tak ku sangka dan tak terduga bahwasannya seorang
santri baru itu ikut mengaji di kelasku. Aku belum tau sih namanya siapa. Biarlah aku juga tak mau mengetahuinya.
“eh Dinda,anak itu kog bisa ikut ngaji kita ya!. Padahal kan setiap anak baru ngajinya ikut kelas
satu” tanyaku.
“entah tapi katanya dia cuma ikut ngaji ramadhan saja” jawab Dinda
dengan alasan yang tidak memuaskan.
“ouch begitu” balasku cuek.
Setiap bakda shalat di
pesantren ku ini selalu mengaji kecuali ketika bakda shalat maghrib. Karna
digunakan untuk berbuka.
Bulan
mulai menyinari dunia, waktu itu aku tengah melantunkan ayat-ayat suci di
masjid. Begitu juga dengan santri-santri lain. Setelah melantunkan ayat-ayat
tersebut temanku, Rena mengajakku dan yang lain pergi ke kantin. “hey, kawan
ayo ke maqsof yuk?”.
“ayo tapi mau ngapain?” timpalku.
“Mau ngemis,,,ya beli
jajan lah. Gimana sih kamu tuh!” sahut Aisyah.
“hehehe, barang kali mau ngapain
gitu!”.
“ayo ayo,,,siapa tau
nanti ketemu santri baru itu” sahut kak Bella.
“ihhh
kakak ini santri baru lagi santri baru lagi” jawabku dengan nada tak suka.
“ya udahlah kalo mau ke kantin ya ayo nggak
perlu debat capres dulu kale!. Udahlah
ayo” sahut Dinda mencoba meleraikan perdebatan. Setelah itu kami semua langsung
ke kantin dan ternyata benar kami bertemu dengan anak itu. Kantin kami juga
sama antara kaum adam dan hawa. Tiba disana teman-temanku pada salting gitu dech gara-gara ada anak
itu. Setelah itu datang lagi santriwan lainnya, tidak lain lagi mereka itu
adalah teman sekelas kami. Jadi kami tidak malu jika berbicara dengan mereka.
Memang disini tidak seperti pesantren-pesantren yang lainnya, disini masih bisa
berbicara antara kaum adam dan hawa, disini juga tidak terlalu ketat seperti di
pesantren lain. Karena kan
pesantrennya masih baru juga. Setelah santriwan sampai di kantin, tak lama
setelah itu Kania menghampiri salah satu teman akrabnya,namanya Andy.
“hey Andy anak baru itu
namanya siapa sih?”.
“ngapain kamu tanya nama dia ke aku! tanya orangnya sendiri sana?”.
“ya malu lah,,,cepet dong kasih tau, please!” Karina memohon
pada Andy.
“ya dech aku beri tau. Namanya Ridwan” dia
berhenti sejenak lalu melanjutkan pembicaraannya “sudah kan!”.
“Thank’s you Andy”. Setelah mengetahui namanya dia sangat gembira,
seperti orang yang baru kasmaran. Tapi dia tidak kasmaran karna dia sudah punya
pacar.
Bagian 3
Hari-hari
ku lewati dengan penuh kegembiraan. Penuh motivasi dari Abah ketika mengaji dan
juga dari ustadz lainnya. Namun hal itu berubah. Ketika aku mendengar suara
yang begitu mengagumkan. Waktu itu, saat aku mengaji kitab bersama Abah
tercinta bakda ashar. Memang setiap Abah berhenti membacakan kitab kuning,
beliau menyuruh salah satu santri untuk mengulangnya. Nah, saat itu yang disuruh adalah Ridwan. Aku hampir tak percaya
bahwasannya dia membaca seperti layaknya seorang ustadz. Aku terkagum-kagum
mendengar suaranya. Meleleh rasanya hatiku. Setelah saat itu sikapku mulai
berubah ketika melihatnya. Pernah pada suatu hari dia tak mengikuti mengaji,
rasanya aku seperti kehilangan sesuatu yang aku sayangi. Setiap hari fikiranku
selalu terbayang akan wajahnya. Padahal itu tidak boleh terjadi dalam agama
apalagi ketika shalat. Karena akan mengganggu shalatku. Tapi entah mengapa aku masih saja
memikirkannya.
Suatu hari
saat terik matahari mulai menyengat tubuh. Setelah mengaji bakda duhur Ridwan
berbicara pada salah satu temanku, Safira. “mbag minta tolong boleh nggak?” tanya dia.
“mau minta tolong apa kang?” jawabnya dengan lembut, memang orangnya sih lembut.
“Tolong tambalke kitab kulo niki wonten sing tasek
gundul”. Lalu Safira mengiyakan.
Padahal sebelumnya dia
tak pernah berbicara dengan kaum hawa. Baru kali ini aku melihatnya berbicara
dengan kaum hawa. Hatiku terasa seperti tergores pisau. Setelah mereka selesai
berbincang dan juga menentukan kapan waktunya, dia langsung pergi ke asrama,
begitu juga dengan Safira. Safira memang terkenal pandai dalam masalah ilmu
nahwu, bahkan Abah juga mengenalnya seperti itu.
Malam itu
saat Ridwan menjajikan akan nambal
kitabnya dengan Safira, rasanya aku sudah tak berdaya lagi. Terlebih lagi saat
Ridwan terlihat bahagia dan bisa tertawa lepas saat bersama kawanku itu. Hatiku
semakin hancur berkeping-keping, namun di balik itu ada temanku yang lain
mendukungku untuk tetap strong
menghadapinya. Akan tetapi aku tidak bisa. Aku menangis tersedu-sedu hingga
seluruh wajahku basah dengan tetesan air mata. Selang beberapa hari aku sudah
bisa melupakan kejadian itu, namun belum sepenuhnya.
Tinggal
menunggu hari saja kami akan berpisah. 2 hari sebelum waktunya berpisah aku
sudah meneteskan air mata. Entah mengapa
aku selalu menangis terus ketika melihatnya. Setelah satu hari terlewati. Malam
itu, waktunya untuk mengumpulkan kitab yang telah dingajeni selama bulan ramadhan ini. Dan barang siapa yang kitabnya
masih belum penuh maknanya, maka dia
tidak boleh pulang. Saat itu, semua kitab santri di kumpulkan lalu diam-diam
aku melihat miliknya Ridwan. Wuuiihhh
ternyata tulisannya bagus melebihi tulisanku. Tak sengaja juga aku menemukan
sebuah buku yang di dalamnya terdapat tulisannya, lalu merobek buku itu agar
aku mempunyai kenang-kenangan darinya. Setelah berpisah aku dan Ridwan pernah
saling komunikasi namun itu tak berjalan lama. Semua itu terhenti ketika aku di
beritahu Dinda tentang suatu hal.
“Aina kamu tahu nggak
kalau Ridwan itu ternyata sukanya sama Safira” ungkap Dinda kepadaku
“tuh kan bener omonganku, tapi kamu beneran nggak!” jawabanku.
“iya aku tau dari
upload-an nya Ridwan” jawaban Dinda
“ah sudahlah kamu tambah
bikin aku sakit hati aja” jawabanku dengan pasrah.
“lebih baik kamu, aku
kasih tau daripada kamu tau sendiri, iya
kan!” tutur Dinda
“iya juga sih. Makasih dech kalo gitu”.
Setelah hari itu aku terpuruk aku merasa
kecewa karna pernah membuka hatiku untuknya. Aku sangat kecewa, mengapa juga
harus aku yang merasakan luka yang begitu dalam. Hingga suatu malam aku menulis
sebuah puisi yang hanya di temani oleh hembusan angin yang dingin,
Bodohnya
rasa tak ku kira
Tanpa
hadirnya ku rasa hampa
Namun
kedatangannya hanyalah luka
Darinya
aku bawa cinta
Indahnya
mengitari samudra
Berjalan
tak menapak
Jauh
waktu tak bertepi
Ku
rasa semua nyata
Terbias
semu rasa kecewa
Akankah
ku lupakannya
Cinta
yang bermakna
Mengajariku
semuanya
Dari
hal yang tak ku kira
Yang
pernah ada atau tiada
Pahit
manisnya rasa
Yang
berujung kecewa.
😍😍😍😍
BalasHapus😍😍😍😍
BalasHapus